Epiphonekun part3

Aku ada di sebelahnya, berlagak seperti sedang duduk di sofa ruang tamu bercat dinding kuning ini. Disiram partikel cahaya yang juga kuning temaram. Menemaninya, hampir setiap hari. Katanya, dia amat suka ruangan yang sebenarnya untuk menyambut tamu ini. Cozy banget, katanya. Ruangan yang digunakan untuk main, belajar, makan, tidur, duduk saja, atau memainkanku.
Ia sedang duduk bersila di lantai, seperti biasa. Entah menghapal atau mencoret-coret kertas kosong dengan angka. Aku tak tahu pasti. Yang pasti, ia menghiraukanku begitu saja. Keluar masuk ruangan ini sambil membawa buku-buku cetak, dan lain-lain. Ah kapan coba terakhir kali kau datang memainkanku?
Aku kangen.     
Sudah lama kita tidak sekedar bersenda gurau dengan lirik konyol, atau menyanyikan sendu berurai air mata. Aku tahu sih, mungkin dia sudah mendewasa. Dia sudah mengalami banyak hal yang mengubah pandangannya terhadapku. “Tidak apa-apa”, katanya, “Aku akan selalu mengingatmu.”
Aku menunggu dengan setia di sini. Kadang dipindahkan. Ke ruangan yang itu, yang memang lebih besar sih, tapi dingin dan sepi. Ditempatkan bersama alat musik lainnya yang juga menunggu dia dengan rindu. Hingga akhirnya dia datang saat senggang, meraihku lagi, dan membawaku mengarungi ringannya kunci-kunci mayor dan dalamnya minor. Bercerita lagi.
Tentang sebuah lagu yang judulnya hanya sekata...

“Seharusnya aku yang main gitarnya!” batinku protes saat lengan kiriku masih memegangi benda di sampingku itu. Sebenarnya bebannya tidak terlampau berat, tubuhku kan kuat. Tapi, beban itu cukup untuk meruntuhkan egoku, setidaknya untuk beberapa menit itu. Aku memandang sinis ke arahnya. Maksudku, mengapa harus ikut berbaris jika tidak ada strap?
Aku masih ingat beberapa waktu lalu, aku juga ikut men-strumming dengan dia. Mendalami lagu yang sama. Aku dengan Epi, dan dia dengan si Cort. Ya, yang sedang kupegang ini.
Aku mengingat kordnya, tapi mengapa aku diberi pekerjaan yang tidak enak ini? Sejenak tenggorokkan enggan menggetarkan suara keluar. Meskipun strumming-an rekan di sebelahku ini mulai memasukki verse 1. Rekan yang lain menarik nafas tanda kata pertama akan dinyanyikan.

Kekuatan di jiwaku... ketenangan di batinku...
Ada dalam hadirat-Mu... ku menyembah-Mu...

        Teduh. Harusnya lagunya teduh. Tapi aku masih risih dengan beban di tangan kiriku ini. Memegang benda yang keras ini, sekeras hatiku. Operator LCD sudah mengganti lirik yang muncul di layar.

Tersungkurku di kaki-Mu... rasakan hadirat-Mu...
Takkan ku melepaskan-Mu... Kau cahaya bagiku...

Musik di sebelah kami mengeras, para pemainnya mulai serius memasuki reffnya. Dia, yang berdiri di sebelahku mengambil ancang-ancang untuk me­-rhytm keras. Dia kelihatan tak nyaman dengan caraku memegangi benda itu.

Mengiringmu seumur hidupku... masuk dalam rencana-Mu Bapa...
Pikiranku... kehendakku.... Kuserahkan padaMu...

Yah lirik yang menagih komitmen. Dari tadi aku menyuruh lidahku bernyanyi. Aku tahu semua mata akan tertuju ke arahku jika aku diam sendiri di antara semuanya. Walau pikiranku kalut.

Harapanku hanya di dalam-Mu... ku kan teguh bersamaMu Tuhan

Dia menggeser benda itu lagi. Tidak nyaman. Malah tadi dengan jelas, aku hampir melepas peganganku. Tapi tarikannya itu membuatku tersadar juga. Aku sedang di mana.

Jadikanku bejana-Mu... untuk memuliakan-Mu...

Memuliakan-Mu?
Kata yang senada dengan impianku dulu. Aku terus berpikir sambil bernyanyi. Ya, kau kira mengapa aku ingin aku yang memainkan gitarnya? Kau kira mengapa aku tak suka diberi beban ini? Aku memandangnya. Memandang yang memainkan Cort di sampingku. Aku pikir memuliakan Tuhan itu adalah dengan melayani. Melayani yang seperti ia sedang lakukan. Aku kira cuma itu.

Tersungkurku di kaki-Mu... rasakan hadirat-Mu...
Takkan ku melepaskan-Mu... Kau cahaya bagiku...

Tiba-tiba seperti ada yang berbisik, kau juga sedang melayani. Aku mengalihkan pandang. Tapi aku ingin aku yang memainkan gitarnya, batinku. “akuuuuu” terus, kapan “buat Tuhan”nya? bisikkan itu menyahut. Tidak itu bukan bisikkan dari siapapun, tapi itu batinku sendiri. Aku sadar. Aku salah. Tak ada kata yang mampu terangkai lagi selain maaf.
Memuliakan Tuhan bisa dengan berbagai cara, tak selalu me-rhytm seperti yang di sampingku ini. Tapi yang pasti, dengan cara yang Tuhan inginkan. Bahkan dengan memegangi gitarnya saja, itu sudah melayani. Asal melakukannya dengan hati yang fokus pada Tuhan, hati yang hanya berisi Tuhan.
Di awal tadi aku dengan konyol protes atas tugasku. Karena memuliakan Tuhan itu harusnya mendengarkan apa yang Tuhan mau aku lakukan. Kini dengan teguh, aku kembali melanjutkan lagu vocal grup kami itu. Ya, Sahabatku, aku akan melakukan apa yang Engkau mau. Aku mau mengiring-Mu. 

Mengiringmu seumur hidupku... masuk dalam rencana-Mu Bapa...
Pikiranku... kehendakku.... Kuserahkan padaMu...
Harapanku hanya di dalam-Mu... ku kan teguh bersamaMu Tuhan
Jadikanku bejana-Mu... untuk memuliakan-Mu...

~bersambung


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu-Lagu dari Album "Ku Istimewa"

Siapakah aku ini, Tuhan?

Lirik Apostles - Melayang Tinggi